Upacara Adat
Ritual/ Upacara suku Asmat yaitu
- Ritual Kematian
 
Orang Asmat tidak mengenal dalam hal mengubur mayat orang yang telah 
meninggal. Bagi mereka, kematian bukan hal yang alamiah. Bila seseorang 
tidak mati dibunuh, maka mereka percaya bahwa orang tersebut mati karena
 suatu sihir hitam yang kena padanya. Bayi yang baru lahir yang kemudian
 mati pun dianggap hal yang biasa dan mereka tidak terlalu sedih karena 
mereka percaya bahwa roh bayi itu ingin segera ke alam roh-roh. 
Sebaliknya kematian orang dewasa mendatangkan duka cita yang amat 
mendalam bagi masyarakat Asmat.
Suku Asmat percaya bahwa kematian yang datang kecuali pada usia yang 
terlalu tua atau terlalu muda, adalah disebabkan oleh tindakan jahat, 
baik dari kekuatan magis atau tindakan kekerasan. Kepercayaan mereka 
mengharuskan pembalasan dendam untuk korban yang sudah meninggal. Roh 
leluhur, kepada siapa mereka membaktikan diri, direpresentasikan dalam 
ukiran kayu spektakuler di kano, tameng atau tiang kayu yang berukir 
figur manusia. Sampai pada akhir abad 20an, para pemuda Asmat memenuhi 
kewajiban dan pengabdian mereka terhadap sesama anggota, kepada leluhur 
dan sekaligus membuktikan kejantanan dengan membawa kepala musuh mereka,
 sementara bagian badannya di tawarkan untuk dimakan anggota keluarga 
yang lain di desa tersebut.
Apabila ada orang tua yang sakit, maka keluarga terdekat berkumpul 
mendekati si sakit sambil menangis sebab mereka percaya ajal akan 
menjemputnya. Tidak ada usaha-usaha untuk mengobati atau memberi makan 
kepada si sakit. Keluarga terdekat si sakit tidak berani mendekatinya 
karena mereka percaya si sakit akan ´membawa´ salah seorang dari yang 
dicintainya untuk menemani. Di sisi rumah dimana si sakit dibaringkan, 
dibuatkan semacam pagar dari dahan pohon nipah. Ketika diketahui bahwa 
si sakit meninggal maka ratapan dan tangisan menjadi-jadi. Keluarga yang
 ditinggalkan segera berebut memeluk sis akit dan keluar rumah 
mengguling-gulingkan tubuhnya di lumpur. Sementara itu, orang-orang di 
sekitar rumah kematian telah menutup semua lubang dan jalan masuk 
(kecuali jalan masuk utama) dengan maksud menghalang-halangi masuknya 
roh-roh jahat yang berkeliaran pada saat menjelang kematian. Orang-orang
 Asmat menunjukkan kesedihan dengan cara menangis setiap hari sampai 
berbulan-bulan, melumuri tubuhnya dengan lumpur dan mencukur habis 
rambutnya. Yang sudah menikah berjanji tidak akan menikah lagi (meski 
nantinya juga akan menikah lagi) dan menutupi kepala dan wajahnya dengan
 topi agar tidak menarik bagi orang lain.
Mayat orang yang telah meninggal biasa diletakkan di atas para 
(anyaman bambu), yang telah disediakan di luar kampung dan dibiarkan 
sampai busuk. Kelak, tulang belulangnya dikumpulkan dan disipan di atas 
pokok-pokok kayu. Tengkorak kepala diambil dan dipergunakan sebagai 
bantal petanda cinta kasih pada yang meninggal. Orang Asmat percaya 
bahwa roh-roh orang yang telah meninggal tersebut (bi) masih tetap 
berada di dalam kampung, terutama kalau orang itu diwujudkan dalam 
bentuk patung mbis, yaitu patung kayu yangtingginya 5-8 meter. Cara lain
 yaitu dengan meletakkan jenazah di perahu lesung panjang dengan 
perbekalan seperti sagu dan ulat sagu untuk kemudian dilepas di sungai 
dan seterusnya terbawa arus ke laut menuju peristirahatan terakhir 
roh-roh.
Saat ini, dengan masuknya pengaruh dari luar, orang Asmat telah 
mengubur jenazah dan beberapa barang milik pribadi yang meninggal. 
Umumnya, jenazah laki-laki dikubur tanpa menggunakan pakaian, sedangkan 
jenazah wanita dikubur dengan menggunakan pakaian. Orang Asmat juga 
tidak memiliki pemakaman umum, maka jenazah biasanya dikubur di hutan, 
di pinngir sungai atau semak-semak tanpa nisan. Dimana pun jenazah itu 
dikubur, keluarga tetap dapat menemukan kuburannya.
- Ritual Pembuatan dan Pengukuhan Perahu Lesung
 
Setiap 5 tahun sekali, masyarakat Asmat membuat perahu-perahu 
baru.Dalam proses pembuatan prahu hingga selesai, ada berapa hal yang 
perlu diperhatikan. Setelah pohon dipilih, ditebang, dikupas kulitnya 
dan diruncingkan kedua ujungnya, batang itu telah siap untuk diangkut ke
 pembuatan perahu. Sementara itu, tempat pegangan untuk menahan tali 
penarik dan tali kendali sudah dipersiapkan. Pantangan yang harus 
diperhatikan saat mengerjakan itu semua adalah tidak boleh membuat 
banyak bunyi-bunyian di sekitar tempa itu. Masyarakat Asmat percaya 
bahwa jika batang kayu itu diinjak sebelum ditarik ke air, maka batang 
itu akan bertambah berat sehingga tidak dapat dipindahkan.
Untuk menarik batang kayu, si pemilik perahu meminta bantuan kepada 
kerabatnya. Sebagian kecil akan mengemudi kayu di belakang dan 
selebihnya menarik kayu itu. Sebelumnya diadakan suatu upacara khusus 
yang dipimpin oleh seorang tua yang berpengaruh dalam masyarakat. 
Maksudnya adalah agar perahu itu nantinya akan berjalan seimbang dan 
lancar.
Perahu pun dicat dengan warna putih di bagian dalam dan di bagian 
luar berwarna merah berseling putih. Perahu juga diberi ukiran yang 
berbentuk keluarga yang telah meninggal atau berbentuk burung dan 
binatang lainnya.Setelah dicat, perahu dihias dengan daun sagu. Sebelum 
dipergunakan, semua perahu diresmikan terlebih dahulu. Para pemilik 
perahu baru bersama dengan perahu masing-masing berkumpul di rumah orang
 yang paling berpengaruh di kampung tempat diadakannya pesta sambil 
mendengarkan nyanyi -nyanyian dan penabuhan tifa. Kemudian kembali ke 
rumah masing-masing untuk mempersiapkan diri dalam perlombaan perahu. 
Para pendayung menghias diri dengan cat berwarna putih dan merah 
disertai bulu-bulu burung. Kaum anak-anak dan wanita bersorak-sorai 
memberikan semangat dan memeriahkan suasana. Namun, ada juga yang 
menangis mengenang saudaranya yang telah meninggal.
Dulu, pembuatan perahu dilaksanakan dalam rangka persiapan suatu 
penyerangan dan pengayauan kepala. Bila telah selesai, perahu -perahu 
ini dicoba menuju tempat musuh dengan maksud memanas -manasi mereka dan 
memancing suasana musuh agar siap berperang. Sekarang, penggunaan perahu
 lebih terarahkan untuk pengangkutan bahan makanan.
- Upacara Bis
 
Upacara bis merupakan salah satu kejadian penting di dalam kehidupan 
suku Asmat sebab berhubungan dengan pengukiran patung leluhur (bis) 
apabila ada permintaan dalam suatu keluarga. Dulu, upacara bis ini 
diadakan untuk memperingati anggota keluarga yang telah mati terbunuh, 
dan kematian itu harus segera dibalas dengan membunuh anggota keluarga 
dari pihak yang membunuh.
Untuk membuat patung leleuhur atau saudara yang telah meninggal 
diperlukan kurang lebih 6-8 minggu. Pengukiran patung dikerjakan di 
dalam rumah panjang (bujang) dan selama pembuatan patung berlangsung, 
kaum wanita tidak diperbolehkan memasuki rumah tersebut. Dalam masa-masa
 pembuatan patung bis, biasanya terjadi tukar-menukar istri yang disebut
 dengan papis. Tindakan ini bermaksud untuk mempererat hubungan 
persahabatan yang sangat diperlukan pada saat tertentu, seperti 
peperangan. Pemilihan pasangan terjadi pada waktu upacara 
perang-perangan antara wanita dan pria yang diadakan tiap sore.
Upacara perang-perangan ini bermaksud untuk mengusir roh-roh jahat 
dan pada waktu ini, wanita berkesempatan untuk memukul pria yang 
dibencinya atau pernah menyakiti hatinya. Sekarang ini, karena 
peperangan antar clan sudah tidak ada lagi, maka upacara bis ini baru 
dilakukan bila terjadi mala petaka di kampung atau apabila hasil 
pengumpulan bahan makanan tidak mencukupi. Menurut kepercayaan, hal ini 
disebabkan roh-roh keluarga yang telah meninggal yang belum diantar 
ketempat perisitirahatan terakhir, yaitu sebuah pulau di muara sungai 
Sirets.
Patung bis menggambarkna rupa dari anggota keluarga yang telah 
meninggal. Yang satu berdiri di atas bahu yang lain bersusun dan paling 
utama berada di puncak bis. Setelah itu diberikan warna dan diberikan 
hiasan-hiasan.Usai didandani, patung bis ini diletakkan di atas suatu 
panggung yang dibangun dirumah panjang. Pada saat itu, keluarga yang 
ditinggalkan akan mengatakan bahwa pembalasan dendam telah dilaksanakan 
dan mereka mengharapkan agar roh-roh yang telah meninggal itu berangkat 
ke pulau Sirets dengan tenang. Mereka juga memohon agar keluarga yang 
ditinggalkan tidak diganggu dan diberikan kesuburan. Biasanya, patung 
bis ini kemudian ditaruh dan ditegakkan di daerah sagu hingga rusak.
- Upacara pengukuhan dan pembuatan rumah bujang (yentpokmbu)
 
Orang-orang Asmat mempunyai 2 tipe rumah, yaitu rumah keluarga dan 
rumah bujang (je). Rumah bujang inilah yang amat penting bagi 
orang-orang Asmat. Rumah bujang ini dinamakan sesuai nama marga 
(keluarga) pemiliknya.
Rumah bujang merupakan pusat kegiatan baik yang bersifat religius 
maupun yang bersifat nonreligius. Suatu keluarga dapat tinggal di sana, 
namun apabila ada suatu penyerangan yang akan direncanakan atau 
upacara-upacara tertentu, wanita dan anak-anak dilarang masuk. 
Orang-orang Asmat melakukan upacara khusus untuk rumah bujang yang baru,
 yang dihadiri oleh keluarga dan kerabat. Pembuatan rumah bujang juga 
diikuti oleh beberapa orang dan upacara dilakukan dengan tari-tarian dan
 penabuhan tifa.
![]()  | 
| Upacara pengukuhan dan pembuatan rumah bujang (yentpokmbu) | 
![]()  | 
| Ritual Kematian | 
___________________________________________________________________________________
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Referensi:
        http://ilmubudayadasar17.blogspot.com/2013_04_01_archive.html
       http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Asmat#Kampung_Asmat  


 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar